18 November 2013

H.R. SUDRAJAT BROTOKUNTJORO SEORANG WARTAWAN

      Biodata ini saya buat untuk menjawab pertanyaan yang sering disampaikan oleh cucu pertama saya R.R. Rizki Eka Puspita, pertanyaannya : “ Apa kegiatan saya dari muda sampai sekarang ini, dan apa hubungan kegiatan saya dengan kumpulnya anak-anak Cina dengan anak bangsa Indonesia asli yang terdapat pada album photo-photo dokumentasi yang saya simpan?”.


Nama lengkap saya H.R. Sudradjat Brotokuntjoro, lahir di Jogyakarta, 12 September 1941 putra seorang wartawan senior Jawa Tengah R. Amir Soemadi Brotokuntjoro, dilahirkan di kediaman eyang Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Tjokrokoesoemo di Cokrokusuman, Jetis 6 No.191 Jogyakarta. Sekarang saya tinggal di Taman Wisma Asri Blok. A.5 No.42 Jln. Salak Raya RT.001 / 013,  Teluk Pucung, Bekasi Utara, Kota Bekasi – 17121.
 


Saya menikah dengan R.R. Sri Suryati yang lahir pada 30 September 1945, putri pertama dari Wakil Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus) saya menikahinya tanggal 30 September 1967, dan hari pernikahan tersebut sekaligus merupakan hari Ulang Tahunnya. Dari pernikahan saya tersebut. oleh Allah SWT saya dikaruniai 4 (empat) orang putri, yakni :


Putri pertama (sulung), R.R. Sri Hastuti menikah dengan Hendra Sunata seorang Cina, Kepu, Jakarta Pusat sebagai Muallaf dimana waktu menyatakan memeluk Islam dengan mengucapkan Kalimat Syahadat dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Hasan Basri (Alm). Dari pernikahannya lahir 2 (dua) orang putri R.R. Rizki Eka Puspita dan R.R. Vyrana Hendrastuti. Kelak saya mengharapkan rizki menjadi seorang pengusaha yang sukses dan vyrana menjadi pejabat Negara yang tangguh dan jujur.


Putri kedua, R.R. Sri Kuswardjati menikah dengan Gatot Yuono, SH yang merupakan anggota POLRI, dari pernikahannya lahir 2 (dua) orang putra : R. Vicky Yudistira Yuono dan R. Novario Wibisono Yuono. Saya menginginkan kelak agar kedua cucu ini menjadi Jenderal TNI-AD dan Jenderal Polisi.


Putri ketiga, R.R. Kuswardani menikah dengan Heri Satyana Sigit Alumnus Universitas Diponegoro Semarang, dari pernikahannya lahir 2 (dua) orang putra R. Raihan Dafa Widura dan R. Fauzan Hilmi Wibawa. Saya sangat mengharapkan kelak mereka kedua-duanya menjadi Pejabat Tinggi Negara dan Tokoh Islam.


Putri keempat (bungsu), R.R. Indriati Amalia menikah dengan Indra Pradana, putra Kolonel (Pur) TNI-AU dari pernikahannya lahir seorang putri R.R. Keyzia Loveli Amalia Pradana. Saya mengharapkan kelak cucuku ini menjadi tokoh ekonom yang handal di Indonesia.


Pada tahun 1959 di Semarang saya turut mengadakan rasialis (anti Cina) yang dilakukan oleh teman - teman semarang, saya dan teman-teman ditangkap oleh Kepolisian dan akhirnya dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang saya dijatuhi hukuman 1 tahun 2 bulan masa percobaan.


Untuk diketahui oleh semua anak bangsa, ketika saya bersama teman - teman semarang. Kami membentuk Gerakan Anti Tjiina (Geranat), tiba-tiba Bung Karno Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang rasialis yaitu PP. No.10 tahun 1959 yang isinya : “Agar Cina-Cina tidak berdagang di Kecamatan dan Cina-Cina asing harus keluar dari Indonesia”. Banyak Cina-Cina yang tidak diterima di negara lain karena tidak memiliki kewarganegaraan. 


Maka terjadi warga negara stateless di Indonesia, sehingga sering terjadi anti Cina. Di Tangerang tahun 1962 terjadi anti cina, di Tangerang belum reda pada tgl. 10 Mei 1963 terjadilah peristiwa anti cina paling besar dimulai dari Jawa Barat yaitu Bandung, Sukabumi, Bogor dan sekitarnya, rumah-rumah Cina habis dibakar.


Peristiwa ini merembet ke Jawa Tengah khususnya dari Semarang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Solo dan Jogya. Di Semarang saya bersama Kusni Kasdut menghancurkan rumah dan kehidupan cina-cina di kota-kota. Saya lalu ditangkap Kepolisian dan oleh Kepala Pengadilan Negeri Semarang (Hakim Wuryanto, SH) saya dijatuhi hukuman selama 2 tahun masa percobaan.


Wuryanto, SH adalah kelompok dari orang PNI  Marhain. Beliau memiliki kelompok tertentu yaitu orang-orang PNI Marhain yang selalu mengadakan pertemuan rutin setiap sebulan sekali, dalam pertemuan itu selalu hadir Hadi Subeno Sastrowardoyo, Muhammad Isnaini (PNI), R. Amir Soemadi Brotokuntjoro (ayahku sendiri) sebagai wartawan, Burhan wartawan dan tokoh PNI Coa Cie Liang wartawan, Un Cien liong pengusaha rokok kretek dan Kwik Hway Gwan ayah Kwik Kian Gie mantan pejabat Republik Indonesia.


Keluar dari Pengadilan Negeri Semarang saya sudah ditunggu oleh Oei Tjo Iem diminta untuk memperkuat lembaga asimilasi, langsung diajak seminar di Bandungan, Ambarawa, saya ditunjuk sebagai Kepala Bidang Riset dan Dokumentasi bersama Bapak Suwono.


Belum lama saya di Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) Semarang saya dipanggil oleh Bp. Kwik Hway Gwan ayah Bp. Kwik Kian Gie (Mantan Pejabat Negara) agar saya segera berangkat ke Jakarta untuk menemui Bp. Sindhunata, SH Kepala LPKB Pusat dan Bung Karno.


Kebetulan LPKB Pusat sedang diresmikan sebagai lembaga negara non departemen dibawah “Kompartimen Perhubungan dengan rakyat” dibawah Menteri Koordinator Hubungan Rakyat Dr. H. Roeslan Abdulgani, lembaga ini adalah lembaga asimilasi yang diciptakan oleh Bung Karno pada tanggal 15 Juli 1963, jadi LPKB ini adalah lembaga resmi pemerintah. 


Tokoh Asiomilasi eks Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) Sindhunata, SH, dibantu Hari Tjan Silalhi, SH (CSIS), H. Prasasto Sudjatmiko, SH, Ny. Titi Oen King Nio (Isteri dr. Pieter Sumbung), H.R. Sudradjat Brotokuntjoro (konsultan), Slamet Sukirnanto (Budayawan), Lukman Setiawan (Majalah Tempo), Alit Wijaya (Pejabat Negara), M. Indradi Kusuma, SH (akademisi), Safder Yusack (Mantan Sekjen Depdagri), Hilman, Drs. Sofyandi Mangkudilaga (Universitas Indonesia) DR. Drs. Moh. Budyatna, MA, Drs. Usman Affan (Pejabat Negara), Oei Tjo Iem (Pengacara), Drs. Cosmas Batubara,     Prof. Dr. JE. Sahetapy, SH,  Moh. Anis Ibrahim, Lie Bian Kie, Junus Yahya, Noto Budimulia, Wignyosumarsono, TA Harjanegara, Soe Hok Gie, Lie King Han, Ir. Kwik Kian Djien.

Di LPKB Pusat saya sebagai Kepala Bidang Riset dan Dokumentasi bersama Soe Hok Gie dan Drs. Sofyandi Mangkudilaga, dari sinilah saya mulai kiprah politik masuk Komando Operasional Tertinggi (KOTI) dibawah pimpinan Brigjen Sutjipto, SH.


Selanjutnya oleh Pak Tjipto saya diperintahkan masuk Badan Pusat Intelejen (BPI) dibawah pimpinan Brigjen Sutarto, karena pendapat dari perwira tinggi ini saya diminta masuk sebagai wartawan agar penyusupan orang-orang Cina untuk di asimilasikan lebih cepat.


Belum lama kiprah melaksanakan tugas dalam organisasi ini terjadilah Gerakan 30 September 1965 (G.30 S / PKI), sehingga cita-cita Bung Karno dalam mengemban asimilasi gagal total. 


Kemudian pada tahun 1966 tokoh-tokoh asimilasi sesuai cita-cita Bung Karno mencoba lagi melalui Peristiwa Apel Siaga, yaitu apel besar kesetiaan orang-orang Cina kepada Nusa dan Bangsa Indonesia, apel siaga ini dilaksanakan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat dimana sebagai Ketua Panitia Apel Siaga Kwe Eng Oen, Sekretaris Sudradjat Brotokuntjoro dan Kam Lok Ju serta Bendahara Noto Budimulia.


Panitia apel siaga mengundang tokoh-tokoh nasional, dari Front Nasional yang dipimpin H. Subhan ZE, dari Kersatuan Aksi Mahasiswa Indonesia  (KAMI) dihadiri oleh Drs. Cosmas Batubara, dari Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) dihadiri oleh Fachmi Idris dan dihadiri oleh ribuan keturunan cina, setelah selesai orasi seluruh peserta beramai-ramai dari Lapangan Banteng menuju ke Kedutaan Besar Republik Rakyat Cina (RRC).

Sejak saat itu tidak ada lagi sekolah-sekolah yang memakai nama Cina, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas semua diberi nama Sekolah Bhineka Tunggal Ika.


Universitas Baperki berdiri tahun 1958 selanjutnya pada tahun 1962 namanya dirubah menjadi Universitas Res Publica disingkat Ureca milik Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dihancurkan oleh mahasiswa, Bung Karno minta agar gedung Universitas Res Publica dibangun kembali namun Pemerintah tidak mempunyai dana (uang). Oleh karena itu Ketua LPKB Pusat K. Sindhunata, SH dibantu oleh Ferry Sonneville dan Frits Amelens membentuk yayasan untuk mencari uang guna membangun kembali gedung Universitas Res Publica, yayasan itu diberi nama oleh Bung Karno “Yayasan Trisakti”, dan nama Universitas Res Publica dirubah menjadi “Universitas Trisaksi” tahun 1965 disingkat Usakti . Ini semua bentuk asimilasi yang samar-samar. Peristiwa ini semuanya mengendap.


Pada tahun 1970 terjadi lagi peristiwa anti Cina di Bandung, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sangat risau, khawatir peristiwa ini merembet sampai ke Jakarta. 


Kemudian pada tanggal 15 Januari 1974 terjadi lagi peristiwa anti Cina besar-besaran  yang dikenal dengan “Peristiwa Malari” menolak kedatangan ahli Jepang Tanaka ke Indonesia, Pasar Senen, Jakarta Pusat, gedung-gedung milik perusahaan Jepang dibakar massa,  kenyataan peristiwa tersebut adalah gerakan anti Cina, banyak keturunan Cina yang dipukuli massa, selanjutnya Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin  membentuk suatu badan study yang diberi nama Badan Pembina Kesatuan Bangsa (BPKB) tgl. 8 Agustus 1974  beranggotakan 12 (dua belas) orang, dipimpin oleh Wiryadi, SH. Tugas BPKB ini lebih praktis “mengembangkan kondisi masyarakat Jakarta ke arah tercapainya pembauran, disamping merencanakan dan memberikan pengarahan terhadap pelaksanaannya”.


Para tokoh-tokoh asimilasi menghadap pak Ali Sadikin agar Pasar Senen dibangun kembali, para pedagangnya harus berbaur dari berbagai suku bangsa / keturunan baik Jawa, Sunda, Batak, Padang dan semua keturunan Cina dan bangsa lain.


Sejak itu perintah pak Harto untuk menanggulangi agar tidak ada lagi anti Cina, maka pada tanggal 28 Oktober 1978 dibentuklah Badan Semi Pemerintah yaitu Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa disingkat Bakom PKB., diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud, di tingkat Pusat diketuai oleh K. Sindhunata, SH dan di tingkat DKI Jakarta di ketuai H. Prasasto Sujatmiko, SH. 


Kepala Kantor Bakom PKB Pusat dan Bakom PKB DKI Jakarta di Jalan Srikaya No.6  Menteng, Jakarta Pusat dipimpin oleh Sudradjat Brotokuntjoro.


Tokoh Asimilasi / Pembauran eks Bakom PKB Pusat 28 Oktober 1978 : Harry Tjan Silalahi, SH, H. Prasasto Sujatmiko, SH, H.R. Sudradjat Brotokuntjoro, M. Indradi Kusuma, Slamet Sukirnanto, Drs. H. Ridwan Saidi, Ir. Siswono Yudhohusodo, Ir. ST. Wartono, DR. Drs. Budyatna, MA, Drs. Suwarno, Drs. Kwik Kian Gie, Tjipta Lesmana, SH.


Sudah berdiri Bakom PKB Pusat namun pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat rahasia resmi yang isinya : “orang-orang keturunan Cina dengan orang pribumi dengan status KTP keturunan Cina dalam KTPnya diberi kode tanda keturunan asing, keturunan Cina harus memiliki Form K1-Surat Keterangan Kewarganegaraan Indonesia (SKKRI) , Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) “, meskipun orang-orang ini dilahirkan oleh orang keturunan Cina yang memiliki Kewarganegaraan Indonesia yang sah. 


Surat-surat tersebut wajib dimiliki untuk mengurus : akte kelahiran, sekolah, KTP, perkawinan, pasport,  Surat Izin Usaha dan lain-lain. Hal ini yang tidak diduga sama sekali bahwa tangan kanan Amir Mahmud membentuk Lembaga Badan Pembauran, sedangkan tangan kirinya mengeluarkan instruksi rahasia yang sangat rasialis.


Pada suatu waktu saya Sudradjat Brotokuntjoro, Slamet Sukirnanto anggota Bakom PKB DKI Jakarta dan H. Syu’bah Asa tokoh wartawan Tempo, bicara mengenai masalah instruksi rahasia Menteri Dalam Negeri tersebut, Syu’bah Asa mengatakan ini akan ada Peringatan Maulid Nabi, bagaimana kalau peringatan ini diselenggarakan oleh Bakom PKB Pusat bekerjasama dengan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), selanjutnya kami bertiga sepakat untuk menghadap Bp. H. Abdul Karim Oei Tjeng Hien karena beliau kita anggap sebagai sesepuh PITI dan anggota Penyantun Bakom PKB Pusat. Pertemuan ini dilaksanakan di kediaman Bp. H. Abdul Karim Oei Jln. Tomang Raya No.18 Jakarta Pusat.


Pak Karim menyatakan bahwa Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) sudah dibubarkan oleh Kejaksaan Agung tahun 1972, atas prakarsa kami dirumah pak Karim membentuk PITI Baru dengan nama Pembina Iman Tauhid Islam, malam itu juga diputuskan Pengurus PITI Baru dengan Ketua Ibrahim, Sekretaris H. Good Wahyudi, Bendahara Jeffrey Rizal Salim dibantu Hong Semi Koto lengkaplah sekarang PITI bersama Bakom PKB Pusat menyelenggarakan Peringatan Maulid Nabi bertempat di Gedung Stovia tangal 11 Maret 1973 Jln. Kwini, Jakarta Pusat.


Dalam peringatan tersebut hadir K. Sindhunata, SH sebagai pembicara, kemudian Direktur Jenderal Bimas Islam Mayor Jenderal Burhani Tjokrohandoko, kemudian Prof. Dr. Hamka, hadir pula tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Drs. H. Ridwan Saidi dan teman-teman, Drs. H. Sutrisno Mukdam (Muhammadiyah), Prof. Musa Machfud (Universitas Gajah Mada). Tidak disangka bahwa dalam peringatan akbar tersebut banyak orang-orang Cina Islam turut menghadiri.


Dari hasil Peringatan Maulid Nabi di Gedung Stovia ini maka makin berkembanglah dakwah Islamiyah dikalangan keturunan Cina. Mula-mula kami membuat rudal dimana Drs. H. Yunus Yahya, ekonom alumnus Rotterdam masuk islam di Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan masuk Islamnya Yunus Yahya  menulis pada Kartu Pos dengan Ucapan Mohon Do’a Restu dan dikirimkan kepada para Pejabat Negara, Kementerian Hankam, Lemhanas, Majelis Ulama Indonesia (MUI), selanjutnya ucapan ini diberikan tanggapan yang sangat positif dari Para Pejabat Negara.


Kemudian Drs. Moh.  Budyatna, MA dan Drs. Ahmad Setiawan Abadi, MA masuk Islam, keduanya adalah tokoh komunikasi Universitas Indonesia (UI), dengan ketiga rudal tersebut dilepas sebagai bola dakwah sehingga banyak orang-orang keturunan Cina masuk Islam.


Tokoh Asimilasi dan Islamisasi eks Stovia tgl. 11 Maret 1979 : H. Abdul Karim Oei Tjeng Hien (Alm), H. Syu’bah Asa (Alm), H. Slamet Sukirnanto, H.R. Sudradjat Brotokuntjoro.


Hampir setiap hari ada acara pengislaman antara lain di Masjid Agung Al Azhar, kediaman Buya Hamka, Masjid Agung Sunda Kelapa dan Gedung Candranaya di Jl.  Gajahmada, Jakarta Pusat. 


Lalu timbul proyek anak angkat / anak asuh oleh Mayor Jenderal Sudarsono Mertopawiro, KH. Muttaqien di Bandung, lalu ada kontak bisnis yang dipimpin oleh Dr. Antonio Syafei (Ahli syariah).


Karena banyak keturunan Cina yang masuk Islam dan disebar luaskan oleh wartawan ibu kota antara lain Majalah Tempo edisi no.26 Thn X. 23 Agustus 1980 “Orang Islam Keturunan Cina”, dan juga wartawan Harian Terbit H. Anas Nazar, wartawan Harian Berita Buana Ismail Wijaya, wartawan Antara khusus memberi dukungan photo-photo.


Karena keturunan Cina sudah banyak yang masuk Islam maka kami mendirikan Kelompok Tujuh, dimana ketika kelompok berdiri telah mengislamkan sebanyak 61 orang keturunan Cina, berita ini disebarkan Majalah HAI berkat bantuan Arswendo Atmowiloto. Berawal dari kelompok tujuh berkembang lagi dengan Yayasan Muslim Baru, Yayasan Dakwah, Yayasan Ukhuwah Islamiah.


Dengan wafatnya Bp. H. Karim Oei Tjeng Hien maka dibentuklah “Yayasan H. Karim Oei Tjeng Hien” yang dipimpin oleh putra almarhum H. Muhammad Ali Karim.


Cucuku Rizki ternyata asimilasi ini, semen pengikatnya adalah Islam yang sejak tahun 1979 hingga sebelum Reformasi dan setelah Refformasi tidak ada lagi peristiwa anti Cina di Indonesia. Banyak terjadi asimilasi baik dari pernikahan, perdagangan dan lain-lain sehingga menjadi kekuatan anak bangsa pemperkokoh kesatuan dan persatuan.


Tentunya Rizki sekarang sudah tahu dan jelas siapa saya sebenarnya ! yang harus kau maklumi bahwa dimana saja, sedang apa saja serta kapan saja saya selalu memikirkan asimilasi dan syukur alhamdulillah berkat ridho Allah SWT cita-citaku tentang asimilasi dapat tercapai dan terwujud dengan baik dan benar.


Dihari tua saya waktu menulis biodata ini saya berusia 72 tahun, dengan kegiatan sehari-hari dalam bidang sosial kemasyarakatan dan keagamaan, dirumah terpampang photo dan tersimpan Album photo-photo pengislaman keturunan Cina serta tulisan-tulisan pengislaman yang diliput wartawan ibukota. Saya abadikan dirumah sebagai bentuk museum yang menyimpan bukti dan fakta sejarah Asimilasi dan Islamisasi.


Mudah-mudahan kelak gerak, langkah dan tekad yang telah saya jalani dan alami dapat dipakai sebagai suri tauladan anak cucu serta teman-teman yang meyakini Islam itu dalah Rohmatan Lil ‘Alamin (rahmat bagi semua makhluk di seluruh alam), merupakan semen perekatnya asimilasi dan pembauran. Semoga.


Pada kesempatan ini saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada nama-nama rekan sejawat yang tidak saya sebut, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya, hal tersebut semata-mata karena keterbatasan saya khususnya dalam hal membaca dan menulis karena faktor penglihatan saya.


Saya mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada rekan-rekan wartawan yang telah aktif membantu meliput serta menyebarluaskan tentang keturunan Cina masuk Islam dan asimilasi / pembauran serta Islamisasi khususnya kepada wartawan : Majalah Tempo, Berita Buana, Kompas,  Terbit, Pos Kota, Pelita.


Tak lupa terima kasih saya kepada Rizki Agnes Stiani yang telah membantu menuliskan konsep biodata ini, kepada Bp. Dharto Suhartono sejawat yang selalu mendampingi dan sekretaris pribadi yang telah membantu menulis, mengoreksi biodata ini.





Bekasi, 28 Oktober 2013



H.R. SUDRADJAT BROTOKUNTJORO



Tidak ada komentar:

Posting Komentar